Sabtu, 10 Maret 2012

Pesan Moral Dari Sepiring Makanan

Aku lebih suka tata cara makanan Indonesia dibandingkan fine dining di restoran-restoran yang biasa menyajikan three-course meal.

Orang-orang bule biasanya suka three-course meal, yaitu hidangan yang disajikan dalam tiga babak. Pertama-tama mereka duduk, appetizer (makanan pembuka) datang. Lalu, setelah selesai, pelayan akan mengangkat piring dan memberikan main course (makanan utama), dan pada akhirnya dessert (pencuci mulut) disajikan. Ketiganya dilakukan secara bertahap.

Ini tentu saja sangat berbeda dengan orang Indonesia: datang ke warteg, mesen makan, angkat kaki satu ke kursi. Nah, cara makan seperti ini yang lebih enak buat aku. Entah kenapa, ada kenikmatan tersendiri kalau makan sambil ngangkat kaki ke atas kursi.

Sama halnya dengan menggunakan tangan. Orang-orang bule selalu menganggap makan dengan tangan itu sangat primitif. Tapi gak ada yang mengalahkan rasanya makan nasi padang langsung pake tangan. Kenikmatan brutal.

Budaya Indonesia yang bikin aku senang makan di restoran adalah keramahannya. Pelayan di restoran Indonesia ramah dan murah senyum, tetapi kadang kalau ada restoran yang terlalu ramah, malah jadi aneh. Aku pernah nemuin pelayan seperti itu di sebuah restoran pizza cepat saji di Lombok. Restoran ini sangat terkenal. Aku rasa hampir semua orang Indonesia tahu restoran ini.

Sewaktu aku dateng, pelayannya membuka pintu dengan senyum yang melebihi lebar mukanya. 'Selamat datang di *beep*!'

Si pelayan menanyakan aku membutuhkan tempat duduk untuk berapa orang. Aku menaikkan satu telunjuk. Dia segera mencarikan tempat dan mempersilahkan aku duduk. Kemudian, pelayan itu memandang mata aku dan berkata dengan sumringah, 'Sudah nyaman kan duduknya?'


Terakhir kali mendengar orang berkata seperti itu kepada orang lain yang hendak makan adalah di film thriller Rumah Dara. Ibu Dara bertanya kepada tamunya-tamunya, apakah duduknya nyaman atau tidak, tamu-tamunya bilang sudah. Dan tamunya berakhir dimutilasi. Setengah berharap tidak dimutilasi, aku bilang, 'Iya, nyaman, Mas.'

'Silahkan pesanannya,' kata si Mas, masih dengan senyum yang berbinar-binar.

'Hmmm saya pesen pizza superspreme satu,' kataku.

'Pilihan yang tepat sekali!' Si Mas menjawab lantang. Sambil mengangkat dua jempol.

Hening.

'Terus saya juga mesen garlic bread,' lanjutku.

'Pilihan yang tepat sekali!'

Kembali hening.

Tampaknya, apa pun yang aku katakan selalu disamber dengan respons yang sama dan nada bicara yang sama. Untung aku gak bilang, 'Saya mau dihamili sama Mas!' dan dia bilang, 'Pilihan yang tepat sekali!'

Setelah memesan, dia lalu berkata, 'Boleh saya angkat menunya?'

'Boleh,' kataku.

Perlahan, dia mengangkat menu, lalu mendekap menu tersebut erat-erat. Dia bertanya lagi ke aku, 'Boleh saya tinggalkan meja ini?'

'Boleh.'

Kalau dilanjutkan, aku rasa dia akan bertanya, 'Boleh saya menggerakkan kaki kanan saya? Boleh saya napas? Boleh saya berhenti ngomong "boleh"?'

Kemudian, si Mas melanjutkan dengan berkata, 'Nama saya Arif, dan kalau ada apa-apa tinggal panggil saya saja!'

Sungguh mas-mas yang sok berani. Seandainya ada perampokan di restoran ini dan aku panggil dia, palingan juga dia lari dan nanya 'boleh saya lari?' terlebih dahulu.

Setelah menunggu sebentar, pizza pesenanku dateng. Makanannya aku suka, tetapi kalau harus berhadapan dengan pelayan seperti tadi agak males juga.

Kadang-kadang, emang terlalu baik juga enggak baik.

Urusan makan bukan hanya kenyamanan saat makan, tapi juga cara membuatnya. Ambil contoh makanan bernama lawar di Bali. Lawar terbuat dari sayur-sayuran dan daging cincang, biasanya dimakan dengan darah babi atau darah ayam. Bukan hanya bahan bakunya yang ekstrem, tetapi cara membuatnya juga.

Aku pernah diajak ke warung lawar dan di sana aku liat sendiri gimana ibu-ibunya membuat lawar. Si ibu-ibu ini duduk ngangkang di lantai warung. Dia mengelap mukanya yang penuh keringat lalu meremas-remas lawar yang dia sajikan di atas sebuah piring.

Sewaktu aku tanya ke saudaraku, 'Gek, itu kok ngebuatnya ekstrem banget? Emang nggak kotor langsung nyampur pakai tangan gitu?'

Dia hanya menjawab ringan, 'Justru itu enaknya. Karena kena-kena tangan.'

Aku mengangguk. Mungkin itu rahasianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar